Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

PT. Arifin Sidayu Diduga TKI Ilegal

Rabu, 04 Juni 2025 | Juni 04, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-04T10:26:33Z

CB, GRESIK – Dengan brosur manis dan bujuk rayu, PT Aripin Sidayu menjanjikan hidup baru: kerja di Malaysia, gaji 80 ringgit per hari, masa depan cerah. Tapi itu hanya umpan. Di balik semua janji, yang terjadi justru pemiskinan, penghilangan dokumen, dan pengiriman manusia ke luar negeri tanpa izin resmi. Sebuah praktik pemerdagangan manusia yang dibungkus rapi dengan label biro jasa travel.

Korban disuruh menyerahkan KTP, KK, ijazah, semua dokumen penting dirampas sebagai jaminan. Lalu diminta membayar Rp14 juta. Yang tidak sanggup? Dipaksa tetap berangkat, karena nyawa mereka sudah digadaikan. Tidak ada kontrak. Tidak ada perlindungan. Mereka dikirim sebagai buruh ilegal dengan visa wisata, tanpa izin dari negara, tanpa dokumen kerja yang sah.

Pola ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, khususnya pasal 81, yang menyebut siapa pun yang menempatkan pekerja migran ke luar negeri tanpa izin resmi dari pemerintah, dapat dipenjara hingga 10 tahun dan didenda sampai Rp15 miliar. Tapi hukum hanya bunyi di atas kertas, sedangkan para korban sudah diperas, diselundupkan, lalu dipekerjakan di negeri asing seperti hewan angkut.

Dan semua ini bukan cuma penyelundupan. Ini eksploitasi. Ini jaringan. Ini kejahatan. Sesuatu yang dijelaskan secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Pasal 2-nya menyebut, setiap orang yang merekrut dan mengirim warga untuk tujuan eksploitasi, baik dengan kekerasan, ancaman, atau penipuan dapat dipenjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun, dengan denda mencapai Rp600 juta. Dan yang dilakukan PT Aripin Sidayu mencium semua unsur itu pemaksaan, penipuan, dan penghilangan hak dasar manusia.

“Suami saya kerja kayak budak. Tak ada gaji tetap. Tak ada pelindung. Semua hanya janji yang kemudian digorok,” ujar seorang istri korban. Wajahnya kering, tapi matanya menyimpan sisa amarah yang dibekukan oleh kenyataan. “Kami dibodohi, dijual. Kami bukan kambing.”

Parahnya, setelah dinyatakan berangkat tanpa biaya tambahan, korban masih ditodong Rp3,8 juta dalihnya untuk paspor yang tak pernah sampai ke tangan. Alih-alih diberi visa kerja, mereka dilempar keluar negeri dengan visa wisata. Itulah pelanggaran terang-terangan terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Pasal 120, yang menyebut setiap orang yang menyalahgunakan data atau menyelundupkan warga negara Indonesia untuk tujuan ilegal dapat dipidana hingga 5 tahun penjara dan denda Rp500 juta.

Saat disambangi wartawan, Haji Arifin bos besar PT Aripin Sidayu menyebut semua tuduhan itu fitnah. Ia mengaku hanya membantu warga. Tapi fakta-fakta yang muncul justru menampar pernyataan itu. Pengakuan korban, alur uang, dan pemalsuan dokumen mengarah pada satu titik: bisnis ini bukan jasa pengiriman tenaga kerja, melainkan mesin jual-beli manusia dengan motif laba.

“Kalau tidak ada visa kerja, tapi tetap dikirim untuk kerja, itu bukan bantuan. Itu penyelundupan!” tegas Abah Saiful Macan Tokoh Muda yang sejak awal mengawal kasus ini. “Itu melanggar banyak undang-undang. Itu pemufakatan jahat. Itu kriminal!”

Abah Saiful Macan menyebut pelanggaran ini juga menyentuh ranah perlindungan konsumen. Di dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha yang memberi informasi palsu atau menyesatkan kepada konsumen dapat dihukum 5 tahun penjara atau denda maksimal Rp2 miliar. Maka janji kerja, janji gaji, janji keselamatan, semuanya adalah kebohongan sistemik yang bisa menjerat pelaku secara berlapis.

Ini bukan lagi soal pelanggaran administratif. Ini bukan sekadar penipuan. Ini jualan tubuh manusia. Ini soal harga diri warga negara yang dijual dengan diskon. Ini soal darah, bukan angka.

Dan jika benar negara ini masih punya keadilan, maka Haji Arifin dan seluruh jaringannya bukan pantas diberi teguran, tapi ditangkap. Bukan ditegur di ruko pinggir jalan, tapi diadili di ruang sidang pidana. Dan kalau hukum masih hidup, maka satu-satunya tempat layak bagi pelaku seperti ini adalah di balik jeruji besi. 
( Yhy )
×
Berita Terbaru Update